KEWAFATAN KI GEDEN PANGALANG-ALANG

KEWAFATAN KI GEDEN PANGALANG-ALANG

Al-kisah ketika Ki Geden Pangalang-alang sudah mashur seabagai Kuwu Cirebon, tak lama kemudian ada seorang santri entah darimana, dengan tiba-tiba ia datang, menghampiri rumah beliau. Ia seorang santri Gunung Jati, ia menitipkan sebuah tas karena ia hendak menghadap Syech Nurul Jati, lalu tas diterima olehnya, sanri tersebut menuju ke Gunung Jati. Lalu Ki Kuwu memanggil putri Rara Santang seraya berkata “Nak, ini tas simpanlah baik-baik, tadi ada seorang santri menitipkan tas ini.” Tas diterimanya oleh Rara Santang. Kemudian Rara Santang masuk ke kamarnya, lalu ia buka ternyata ada sebuah Cupu Hijau yang berisi air cahaya (Tirta Nur). Ia tak sabar lagi untuk meminumnya, ia pun meminumnya sampai habis karena dahaga, lalu tas tersebut ditutup kembali dan ia simpan seperti semula.
            Pada suatu ketika kira-kira pukul 2 malam, ia termenung seorang diri memikirkan bahwa ia sekarang mempunyai tiga orang anak angkat sedangkan ia sendiri belum bisa berbuat apa-apa. Dalam renungan itu lalu ia tertidur, dan bermimpi bertemu dengan orang yang sangat elok rupanya, dan harum baunya lalu ia mengucapkan salam syahadat. Lalu ia mengikutinya dan orang tersebut, menerangkan arti dan maksudnya. Kemudian orang tersebut berkata “Hai Ki Pengalang-alang, tadi ada orang yang menitipkan tas nya disini yang didalamnya ada air cahaya Cupu Tirta Nur namanya sekarang mana benda itu? Ki Pengalang-alang merasa heran kepdanya, lalu ia bertanya “sebetulnya siapakah tuan ini?” “Aku ini Nabi Muhammad, utusan Allah SWT, ak diutus oleh-Nya untuk menyampaikan risalah. Dalam keadaan mimpi, lalu Ki Pengalang-alang ingat akan tas santri, ia segera terjaga, menggerayangi sesuatu di tempat tidurnya. Dengan tergesa-gesa ia memanggil putri Rara Santang dan bertanya “Hai Nak, tas titipan santri yang berisi “Cupu Tirta Nur” sekarang diminta oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan aku diberi wejangan tentang dua kalimat syahada” lal sang putri menjawab sambil ditangannya membawa tas. “Maaf ayahanda, air cahaya “Cupu Tirta Nur” itu sudah aku minum habis tiada setetes pun air yang tersisa, harap ayahanda memaafkannya.” Lalu Ki Pangalang-alang tercengang kebingungan ia takut jika orang yang menitipkan tas itu datang mengambil tas yang dititipkannya itu, dan bagaimana pula jika Kanjeng Nabi Muhammad SAW itu menanyakan lagi kepadanya. Berat rasanya pertanggung jawaban ini. Dalam keadaan gelisah ia menangis merasa berbuat dosa, kemudian ia memperbanyak tobat dan akhirnya ia menderita sakit hingga menemui ajalnya, ia meninggal dunia sebagai Waliyullah, karena ia telah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan iman kepadanya meskipun pertemuan itu dalam mimpi.
            Ki Cakrabuana (Pangeran walangsungsang) setelah Ki Pangalang-alang meninggal dunia lalu mengumpulkan semua tetangga (masyarakat sekitarnya) untuk melakukan acara kematian scara islam (memandikan, membungkus, menyalati, dan menguburkan jenazah itu) akan tetapi paratetangga (masyarakat) tak seorang pu yang datang untuk memenuhi panggailannya, karena upacara lkematiannya tidak sama dengan orang Budha, Ki Cakrabuana melihat kondisi masyarakat demikian, lalu ia mengadakan pengumuman yang berbnyi “Barang siapa yang mau membantu dan mengurusi jenazahini, maka akan mendapatkan upah, tiap orang diberi yang sebaru (35 sen), nasi berikut lauk pauknya”. Setelah mendengar pengumuman tersebut, masyarakat segera menyatakan kesediaannyauntuk membantunya. Terlaksana sudah jenazah Ki Pengalang-alang disholatkan dan dikubur. Akan tetapi dengan izin dari Allah SWTjenazah tersebut hilang/lenyap tanpa bekas, hanya tinggal bungkusnya saja (kain kafan ) dan meninggalkan bau yang snagat harum yang belum pernah ada bau-bauan yang semacam itu, mereka semua terpana, keheranan melihat kejadian jenazah yang sangat menakjubkan tersebut.
      Setelah melihta peristiwa tersebut, Ki Cakrabuana berbicara dihadapan mereka seraya mengatakan “Wahai saudara-saudara sekalian, inginkah saudara-saudara mengalami kejadian semacam ini?”dengan spontan mereka menjawab “Betul, kami heran melihat kejadian semacam itu, kami ingin sekali mengalaminya.” Ki Cakrabuana pun menjawab “Jika demikian bacalah, dua kalimat syahadat”
            Ki Cakrabuana dengan sabar melantunkan bacaan dua kalimat syahadat. Berikut dengan artinya. Dan beliau pun menjelaskan arti-arti yang ada ddengan sangat jelas. Lalu bacaan tersebut diikutinya dengan tertatih-tatih sampai berulang-ulang kali dan merekapun merasa puas dengan keterangan dari beliau. Setelah mereka pulang ke tempat masing-masing, diantara mereka yang belum insaf, tidak menuntut upah, tetapi ada juga yang belum insaf, dan mereka tetap menuntut upah.
Selanjutnya, orang-orang yang sudah mengerti penjelasan-penjelasan Ki Cakrabuana, merekapun betambah dekat mereka memohon beliau untuk berkenan memberi penjelasan-penjelasan yang lain tentang agama Islam secara Kafaah (detail). Mereka setiap malam ke rumah beliau, dan beliapupun merasa senang dikerumuni oleh masyarakatnya disitu. Dismaping itu juga, beliau mengajarkan tahlil kepada masyarakatnya serta ceita dan pengajian. Akirnya mereka meresap dalam jiwa apa-apa yang diajarkan, mereka mengusulkan agar diadakan pengajian setiap malam.
Dengan demikian orang yang pertama kali mengadakan tahlilan pada tiap-tiap ada kematian di Cirebon ini, dan yang pertama kali mengadakan pengajian di waktu malam adalah Ki Cakrabuana / Pangeran Walangsungsang/Mbah Kuwu Sangkan. Maka sudah selayaknya kita masyarakat Cirebon untuk meneruskan ajaran itu. Lama-kelamaan pengajian itu mendapat perhatian dari orang banyak. Hingga dirumah beliau penuh sesak, orang mengaji tidak tertampung. Atas usulan orang banyak dibuatlah tempat pengajian yang luas, lalu dibukalah sebuah masjid yang dinamakan masjid Jala Gerahan (orang Cirebon menyebutnya Pejlagrahan) dan itempat itulah pengajian kian bertambah mashur sehingga Ki Cakrabuana mempunyai beberapa murid yang alim yang dapat dipercaya untuk mewakilinya.
 Al kisah suatu ketika Prabu Raja Galuh mendapat berita bahwa kepala desa Cirebon telah wafat (Ki Pangalang-alang). Kemudian beliau menmanggil seorang patihnya(patih Kiban) ddan beliau memberi tugas kepadanya untuk menyelidiki berita tersebut. Kalau memang benar, segera angkat penggantinya. Lalu Ki Patih beserta para pengawalnya (para menteri sebanyak 7 orang) datang ke Cirebon untuk mengadakan penelitian. Ternyata, sesampainya disana memang benar bahwa kepala desa Cirebon telah wafat. Lalu mereka bertemu dengan Ki Cakrabuana mereka mengadakan percakapan tentang kematian kepaala desa (Ki Pangalang-alang). Serta mengumpulkan masyarakat sekitar untuk mengadakan pemilihan kepala desa (Kuwu)
Saat itu penduduk desa Cirebon sudah mencapai 457 jiwa setelah mereka berkumpul lalu diadakan pemilihan secara aklamasi. Mereka musyawarah untuk mencapai mufakat dengan suara bulat bahwa yang meneruskan menjadikepala desa (kuwu) Cirebon adalah Ki Cakrabuana. Lalu beliau secara resmi diangkat sebagai kepala desa / kuwu Cirebon dan disaksikan oleh para menteri hingga mendapatkan gelr sebutan Pangeran Cakrabuana. Peristiwa itu berlangsung pada tahun 1447M


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Instagram

Pages

Facebook